Artikel News Update
PKI Bangkit ditengah Pandemi?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna pertengahan Mei 2020. Namun RUU HIP yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2020-2024 ini menuai kritik dari sejumlah fraksi.
Kritikan tersebut terkait ketiadaan pencantuman TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai rujukan atau konsideran. Sejumlah anggota fraksi khawatir terhadap bahaya komunisme apabila TAP MPRS tersebut tak dicantumkan dalam RUU HIP. Salah satunya Fraksi PKS yang menyatakan bakal menolak jika TAP MPRS tentang larangan Komunisme tak dimasukkan ke RUU tersebut (https://www.cnnindonesia.com)
Sementara Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) akan menjadi payung hukum untuk melindungi Pancasila dari kepentingan banyak ideologi bangsa lain.
Serta agar Pancasila bisa terus membumi dan dapat terus berfungsi sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Basarah menjelaskan RUU HIP harus dapat menjadi dokumen hukum yang dapat menyatukan kembali pandangan dan sikap ideologis bangsa sebagaimana konsideran menimbang Kepres Nomor 24 Tahun 2106 yang telah mengakomodasi semua pandangan dan kepentingan, terutama golongan Islam maupun golongan kebangsaan. Menurutnya, selain diperlukan masuknya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pelarangan PKI dan Ajaran Komunisme dalam konsideran mengingat RUU HIP, juga perlu memasukkan sumber-sumber hukum lain. Hal itu untuk menegaskan pentingnya Pancasila dilindungi dari bahaya praktik paham liberalisme/ kapitalisme serta bahaya paham keagamaan apa pun yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. (https://today.line.me)
Gelombang penolakan terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tidak mencantumkan TAP MPRS No.25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, mulai bermunculan diantaranya Laskar Merah Putih, menurut Burhan Saidi Chaniago SH , ketua harian LMP, ia menyayangkan mengapa dalam implementasinya, justru RUU HIP menghilangkan Hal dasar yang selama ini menjadi acuan untuk tetap dipertahankannya Pancasila sebagai Ideologi bagi setiap Anak Bangsa yaitu Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia(https://jurnalnusantara.com).
Demikian juga dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bentukan mantan perdana menteri M. Natsir. DDII menyatakan adanya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang digagas oleh DPR membuat pengurus Dewan Da'wah mengirim surat kepada Presiden hingga DPR RI untuk menyatakan penolakannya atas RUU tersebut, diantara alas an penolakan tersebut adalah.( https://kabar.dewandakwah.com)
DDII memandang bahwa RUU HIP tidak memuat filosofi Pancasila seperti yang telah ditetapkan oleh Founding Fathers kita pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden tahun 1959. Sehingga Pancasila yang dijadikan objek pada RUU HIP adalah Pancasila yang tidak punya dasar hukum dengan pendirian awal negara Republik Indonesia
DDII menilai bahwa tidak ada satupun pasal yang membahas tentang musuh atau ancaman ideologi Pancasila yaitu Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara jelas telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966. Sehingga bagi kami, RUU HIP ini tidak menjiwai dan menghayati luka yang mendalam dari bangsa dan negara Indonesia yaitu terjadinya pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap ideologi Pancasila baik pada tahun 1948 maupun pada tahun 1965
Tentu saja penolakan terhadap penghapusan TAP MPRS No. . XXV/MPRS/1966 bukan tanpa alas an, sejarah kelam kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak bisa dilupakan oleh bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat bagaimana sepakterjang PKI dalam memberontak dan ingin mengganti pancasila sebagai dasar Negara.
Jangan heran jika ada kecurigaan dari masyarakat tentang RUU HIP ini menjadi "PKI" gaya baru dengan dalih "gotongroyong" dan berbagai alasan lainnya.
Yang menjadi ironi, RUU HIP ini muncul saat pandemi covid-19 belum juga hilang, semua komponen bangsa tengah konsentrasi menghadapinya. Tidak heran kalau kemudian banyak penolakan, karena RUU HIP dengan tidak mencantumkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, seakan membuka luka lama kelamnya sejarah kebiadapan PKI, apakah anggota dewan yang terhormat tidak memahami sejarah? Atau mereka pura-pura tidak paham? Atau mereka adalah anak keturunan PKI?
Harusnya DPR dan Pemerintah lebih focus menangani dampak covid-19 yang korbannya makin banyak, kita pahami bahwa DPR sebagai lembaga legislasi harus membuat aturan bernegara, namun setidaknya, mereka jangan sampai abai terhadap nurani dan kepentingan rakyat, jangan hanya mengejar target berhasil membuat Undang-undang dan dianggap sukses bekerja. Jutaan rakyah Indonesia menanti nurani anggota dewan dan pemerintah, jangan sampai ditengah pandemi covid-19 menghadirkan undang-undang dan peraturan lainya yang berpotensi "blunder", bukan untuk kepentingan rakyat tetapi hanya kepentingan segelintir orang.
Pandemi covid-19 seharusnya menyadarkan kita semua sebagai bangsa yang telah memiliki pancasila sebagai dasar bernegara, yang diantara silanya adalah "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Pertanyaan, sudahkan keadilan dinikmati oleh seluruh anak bangsa?
Semoga DPR dan pemerintah masih memiliki nurani mendengarkan jeritan rakyat di tengah pandemi covid-19 yang berdampak pada sulitnya ekonomi dan makin beratnya beban hidup yang ditanggung rakyat, bukan sekedar mencari popularitas dengan membuat Undang-undang yang justru menantik luka sejarah masa lalu.
Wallahu alam
-AZS-
Leave A Comment: