Artikel News Update
Jabatan dan Uang
Keterpurukan bangsa ini, Jika di renungi berawal dari persoalan yang menyangkut akhlak, moral, atau etika. Tatkala seseorang terlalu mencintai jabatan, maka ia akan rela mengeluarkan uang berapapun jumlahnya. Maka, uang dianggap menjadi sangat penting. Tanpa uang jabatan tidak akan diperoleh.
Memiliki banyak uang diangap berprestise dan aman. Hidupnya akan dihargai orang dan merasa terjamin. Oleh karena itu, sehari-hari aktivitasnya hanya mencari uang, apapun caranya ditempuh. Bagi mereka yang terpenting uang terkumpul sebanyak-banyaknya. Tidak peduli, usahanya itu ternyata merugikan orang lain.
Kecintaan terhadap harta yang sedemikian mendalam, hingga tatkala memilih sekolah pun yang dijadikan pertimbangan adalah sekolah atau bidang ilmu yang mendatangkan banyak uang. Apapun selalu dikaitkan dengan uang. Padahal terlalu mencintai jabatan, harta, uang dan sejenisnya, pada hakeketnya adalah bagian dari akhlak yang kurang baik. Dalam pandangan Islam, orang yang terlalu mencintai jabatan dan harta disebut sebagai hubbul jah dan hubuul mal.
Kita sering menyaksikan dalam keseharian, tidak sedikit pejabat atau elite bangsa, sedemikian rupa mereka mencintai jabatan dan harta. Terjadinya kasus-kasus korupsi, suap menyuap, sogok menyogok, mafia, pemalsuan dokumen pemerintah dan lain-lain itu, sebenarnya adalah oleh karena didorong oleh kecintaan mereka terhadap jabatan dan harta kekayaan itu.
Bahkan konflik-konflik di antara para elite bangsa yang terjadi selama ini, misalnya dalam kasus bank century, Gayus Tambunan, Hambalang, pemalsuan dokumen, konflik intern partai, dan lain-lain adalah terkait dengan uang. Akibatnya, para pejabat tinggi dipanggil dan diperiksa oleh KPK dan atau kejaksaan. Semua itu bukan menyangkut persoalan besar, semisal terkait falsafat hidup atau idiologi, melainkan menyangkut hal sederhana, yaitu terlalu mencintai jabatan dan uang.
Padahal orang yang terlalu mencintai harta dan jabatan, maka hati dan pikirannya menjadi gelap. Norma, tata karma, etika, nilai-nilai agama, moral dan lain menjadi tidak lagi diperhatikan. Bagi sementara orang, yang penting jabatan dan harta berhasil diraih dan atau dikumpulkan. Bahkan harga dirinya rela dikorbankan, untuk memenuhi kecintaannya terhadap dua hal tersebut.
Mereka sebenarnya tahu bahwa korupsi, suap menyuap, dan sogok menyogok serta mafia yang dilakukan akan membawa resiko besar terhadap dirinya. Akan tetapi, oleh karena pikiran dan hatinya sudah gelap, maka resiko apapun tidak akan diperhitungkan. Padahal, jika kejahatannya itu terdeteksi dan kemudian tertangkap, maka harkat dan martabatnya akan jatuh hingga posisi yang serendah-rendahnya.
Persoalan akhlak, yang bersumber dari hati, tidak akan bisa dihilangkan melalui mekanisme penjara dan sejenisnya. Hanya dengan dipenjara, mereka tidak akan malu atau jera. Apalagi tatkala penjara sudah dianggap sebagai hal umum, atau hal lazim. Bukti bahwa hukuman penjara tidak efektif sudah cukup banyak. Betapa mudah kita temukan, orang sekian lama dipenjara, tetapi juga tidak jera. Bahkan ada sementara orang berkalkulasi, untung rugi. Misalnya, dipenjara selama 5 tahun tidak mengapa, asalkan masih untung mendapatkan sisa uang dari hasil korupsinya. Mereka berpikir, bahwa di luar penjara, mendapatkan uang juga tidak mudah.
Oleh karena persoalan korupsi, suap menyuap, sogok menyogok dan berbagai mafia itu adalah persoalan akhlak, maka cara menanggulanginya adalah juga melalui pembenahan akhlak. Akhlak bangsa ini harus diperbaiki. Caranya adalah melalui pendidikan yang benar. Pendidikan yang benar sebetulnya telah dicontohkan oleh rasulullah. Tinggal mau atau tidak melaksanakannya. Nabi berhasil membangun masyarakat Madinah juga menmggunakan pendekatan akhlak, hingga sampai-sampai dikatakan bahwa, ia diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sementara ini, pemimpin bangsa selalu menyebut bahwa persoalan di negeri ini terletak pada ekonomi, demokrasi dan keadilan. Pandangan itu tidak terlalu salah. Memang di negeri ini membutuhkan peningkatan ekonomi, demokrasi dan keadilan. Kiranya pandangan itu tidak ada yang membantahnya. Namun yang perlu dilihat kembali adalah, apakah rendahnya tingkat ekonomi, demokrasi, dan keadilan itu merupakan sebab atau justru sebagai akibat.
Tampak dengan jelas bahwa perbuatan korup, sogok menyogok, suap menyuap, justru terjadi di kalangan elite dan atau orang-orang yang sudah bergelimang dengan harta. Mereka korupsi bukan karena miskin, atau untuk mempertahankan hidup, melainkan oleh karena kecintaan terhadap jabatan dan harta itu. Dengan demikian, maka lebih tepat dikatakan bahwa, keadaan itu disebabkan oleh karena merosotnya akhlak sementara elite bangsa.
Negeri yang kaya raya sumber alam, umpama saja para elite bangsa dan rakyatnya berakhlak mulia, maka tidak tidak akan terjadi kesenjangan, kemiskinan, saling menindas dan merugikan sesama. Indonesia sebenarnya bukan negara miskin, tetapi yang terjadi adalah kesenjangan yang sedemikian lebar. Beberapa orang menguasai kekayaan yang luar biasa besarnya, sementara sebagian besar lainnya sangat miskin. Harta kekayaan hanya berputar-putar di kalangan orang kaya, maka akibatnya ekonomi tidak berjalan sempurna, sehingga terjadi kemiskinan di mana-mana.
Suasana berbagi kasih sayang, saling tolong menolong dan saling menguatkan tidak terjadi. Sebaliknya yang muncul adalah, sebagian orang memonopoli, tamak atau rakus, dan bahkan menghisap oleh yang kuat terhadap yang lemah. Rasa kemanusiaan tidak tumbuh dan bahkan tumpul. Akibatnya, kemiskinan terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, yang sebenarnya terjadi di negeri ini adalah kemerosotan akhlak.
Leave A Comment: